OPINI - Jangan buru-buru berasumsi bahwa tulisan ini subyektif dan partisan dengan judul di atas. Artikel ini berupaya menggali data dan juga argumentasi yang obyektif untuk kemudian membuat kesimpulan bahwa Anies adalah capres yang paling ideal.
Indikator utamanya ada pada identitas pemilih. Dari semua survei, Anies Baswedan paling tinggi jumlah pemilihnya dari kalangan kelas menengah atas dan perkotaan. Mereka adalah kaum terdidik yang relatif lebih rasional dan mampu melihat fakta serta mengolah informasi dengan baik.
Sementara dua rival Anies, yaitu Prabowo dan Ganjar, jumlah pemilih rasional, terdidik, kelas menengah atas dan perkotaan jauh lebih kecil dari Anies. Pemilih kedua capres ini didominasi oleh mereka yang lulusan SD atau tidak sekolah yang umumnya tinggal di pedesaan. Silahkan anda cek hasil survei itu.
Besarnya pemilih berpendidikan, kelas menengah atas dan perkotaan menunjukkan sisi kualitas Anies Baswedan yang lebih dominan dibanding dengan kedua rivalnya. Ini data yang sulit dibantah.
Baca juga:
Tony Rosyid: Firli dan Revolusi
|
Saya seringkali ngobrol "sersan", (sarius tapi santai) dengan temen-temen lintas dukungan. Ada pendukung, bahkan pengusung 01 ada 02 dan ada 03. Di dalam obrolan, yang tentu tidak diliput oleh media, mereka dengan jujur, tegas dan sepakat bahwa yang paling siap, terbaik dan ideal diantara capres yang ada adalah Anies Baswedan. Saya yakin diantara anda, banyak yang juga menemukan pengalaman yang sama dengan saya.
Buat kalangan terdidik perkotaan yang mampu menjaga obyektifitas, mereka paham dan tidak perlu diberi penjelasan. Kecuali mereka yang terlanjur terikat dengan kebutuhan pragmatis dan politis. Tapi kepada mereka yang awam, saya merasa perlu ikut menjelaskan. Ingat, menjelaskan itu beda dengan kampanye. Menjelaskan itu bagian dari tanggung jawab akademis untuk menyuguhkan perspektif seobyektif mungkin, by data, dan tetap membuka ruang untuk dialog.
Bukan debat, tapi dialog. Dialog itu memberikan perspektif. Kalau debat itu saling menjatuhkan. Dua hal yang berbeda.
Saya selalu menilai calon pejabat dan calon pemimpin melalui lima kriteria. Pertama, integritas. Ini menyangkut negara, bukan personal dan keluarga. Dari sini saya akan mengajukan satu pertanyaan penting: ketika menjabat, pernahkah seseorang membuat aturan, kebijakan dan tindakan yang secara sengaja merugikan negara? Pernahkan ia menyalahgunakan kewenangan atau abuse of power? Kalau jawabannya iya, dia bukan orang yang berintegritas.
Sederhannya, apakah ketika menjabat ia melakukan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Ini ukuran integritas yang paling mudah dipahami rakyat. Kalau iya, dia bukan orang yang berintegritas.
Anies Baswedan, jauh dari kasus korupsi ketika menjabat di Kemendikbud dan Gubernur DKI Jakarta.
Baca juga:
Tony Rosyid: Dilema Oligarki Dukung Ganjar
|
Kasus Formula E? Anies sempat dicurigai membuat kebijakan yang salah terkait Formula E. Yang dibidik adalah "kebijakan yang salah" bukan korupsi Anies. Faktanya, setelah beberapa kali dipanggil KPK, tidak terbukti. Kemelut di internal KPK terjadi, karena beberapa pimpinan KPK ingin memaksakan Anies jadi tersangka tanpa dua alat bukti yang cukup.
Ada yang bilang: ada yang back up Anies. Ini, menurut saya, cara berpikir yang sesat. Kenapa dikatakan sesat? Karena tidak ada satupun kekuatan yang saat itu berani dan mampu back up Anies. Yang dihadapi adalah kekuasaan. Siapa yang kuat dan berani? Selain itu, Anies juga tidak punya instrumen untuk melakukan bergaining.
Di Indonesia, kalau anda tidak punya backing kuat dan tidak punya alat negosiasi, jangan pernah berharap pelanggaran hukum anda bisa diamankan. Sampai di sini, anda pasti paham.
Kedua, rekam jejak. Bandingkan prestasi Anies di kemendikbud dan DKI dengan Prabowo di Kemenhan dan Ganjar di Jawa Tengah. Buat list sesuai dengan kapasitas masing-masing, lalu bandingkan. Di sini, Anies Baswedan terlihat menonjol.
Ketiga, penguasaan masalah bangsa dan gagasan. Lihat saat talk show televisi dan acara debat capres. Siapa yang paling mengerti tentang "kompleksitas" masalah negeri ini secara detail. Siapakah yang punya gagasan lebih komprehensif dan siatematis diantara tiga kandidat itu.
Melalui acara "Desak Anies", terlihat hanya Anies yang lebih siap untuk menghadapi secara langsung semua masalah, keluhan dan pertanyaan dari rakyat. Yang lain, bahkan seringkali diundang acara talk show tivi saja tidak datang. Ini hanya sebagai sebuah gambaran untuk menjadi variable penting dalam membandingkan satu kandidat dengan kandidat lainnya.
Keempat, dari aspek emosional. Negara butuh pemimpin yang berpikir luas, holistik, jangka panjang, detail dan juga bersikap bijak. Mengapa? Karena nasib 278 juta rakyat ada di dalam kebijakannya. Ini semua sulit diwujudkan jika seorang pemimpin secara emosional tidak stabil. Kebijakan yang seringkali muncul secara spontan itu dalam jangka panjang bisa menjadi petaka bagi masa depan bangsa.
Pemimpin yang emosinya tidak stabil itu sangat berbahaya. Ia bisa menggunakan alat negara untuk melayani kemarahannya. Di sinilah abuse of power dan kesewenang-wenangan biasa terjadi. Diantara ketiga capres, Anies Baswedan paling stabil emosinya.
Kelima, pemimpin yang mampu menjadi leader. Pemimpin itu tugasnya menggerakkan. Itulah leader. Dia merangkul semua potensi yang ada dan dikolaborasikan secara kolektif untuk mendorong lokomotif yang bergerak secara terukur ke arah masa depan yang benar. Anies membuktikan kolaborasi ini di Jakarta. Bahkan kata "kolaborasi" seoleh sudah menjadi tagline Anies dalam memimpin.
Sekali lagi, karena tulisan ini berupaya disuguhkan se-obyektif mungkin, dengan data dan argumentasi akademik, maka terbuka selalu ruang untuk diskusi. Tujuannya? Agar rakyat, khususnya kaum awam yang mayoritas menjadi sasaran money politics dan pembodohan politik mendapatkan pencerahan. Dengan begitu, rakyat akan punya harapan untuk bisa melahirkan seorang pemimpin yang mampu membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik.
Semarang, 25 Januari 2024
Tony Rosyid*
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa